Friday 3 May 2013

Short Story 1


Mawar Putih Untuk Nomi     

     Hujan deras membasahi seluruh pakaiannya, walau begitu, ia masih saja berjalan entah kemana, tanpa tujuan. Tatapannya terlihat kosong dan lemah, pernyataan yang baru saja ia dengar, sangat menyayat hatinya. Keluarga yang selama ini terasa hangat, kini baginya hampa tanpa sentuhan. Kenyataan bahwa ia bukanlah anak kandung dari keluarga itu begitu menyakitkan. Sangat menyakitkan. Ditambah lagi, pria yang sangat ia cintai sama sekali tidak pernah menghiraukan dirinya, dirinya yang terus berusaha untuk mendapatkan hati sang pria, habis sudah. Kasih sayang yang selama ini ia dapatkan dari keluarganya, apakah pantas ia rasakan? Dan.. apakah ia tidak pantas mendapatkan kasih sayang dari pria yang ia cintai?
“ aku.. siapa? Aku siapa? Aku siapa! “ tubuhnya tersungkur diatas aspal, menangis atau tidak sudah tidak terlihat lagi, air matanya sudah berbaur dengan air hujan yang deras membasahi pipinya, hanya isakan tangisnya yang terdengar, posisinya sangat berbahaya, ia berada di tepi jalan yang pada saat itu ramai dilintasi kendaraan. Terdengar jelas suara klakson mobil, itu membuatnya marah, kenapa mereka mendengarkannya suara klakson yang lantang itu, disaat suasana hatinya yang hancur seperti ini tentunya semua itu sangat menganggu. Ia kuatkan dirinya dan mencoba kembali berdiri, namun..
    Senyuman yang sangat indah tentunya senyuman yang diberikan dari keluarga kita sendiri. Tawa mereka, kejahilan mereka, bernyanyi bersama, semua itu yang dinamakan indah. Nomi sangat menikmati semua itu, kedua orangtuanya, kedua adik laki-lakinya, mereka semua merupakan orang terpenting dalam hidupnya, dan.. entahlah, ia merasa seperti ada yang kurang.
“ apa yang sedang kamu pikirkan? Katakan kepada mama.. “ suara itu begitu lembut, seperti membelai setiap indra pendengarku. Ibuku sangat menyayangi diriku, perhatian yang ibuku berikan kepadaku bagaikan udara. Apapun yang kita lakukan didunia ini, udara tetap setia menemani kita dan memenuhi kebutuhan oksigen kita tanpa kekurangan sedikitpun.
“ ma, aku ingin segera masuk kuliah.. “ kataku setelah melewati pemikiran yang sangat panjang.
“ tapi, kamu belum pulih sepenuhnya.. kamu harus banyak istirahat sayang.. “ tangannya membelai rambutku dengan lembut, sangat nyaman.
“ tidak ma, aku harus kuliah.. “ aku berusaha meyakinkan ibuku agar mengizinkanku untuk kembali berkuliah.
“ sayang.. ingatanmu.. “ suaranya terdengar bergetar, ia menahan tangis, berusaha agar tidak memperlihatkan air matanya kepadaku.
“ aku ingat ma, aku sudah ingat semuanya, mama tenang saja.. “ senyumku merekah ketika melihat anggukan mamaku. Ia mengizinkanku untuk kembali melanjutkan perkuliahan. Setelah sekian lama istirahat dibalik ingatan kosongku.
“ baiklah. Ini ada kiriman bunga untukmu. “ kata ibunya sambil menyerahkan bunga mawar putih ke pelukannya.
“ lagi? “ walau aku tidak tahu siapa pengirimnya, aku selalu menanti kiriman selanjutnya. Hampir setiap minggu aku mendapatkan bunga ini. Siapa sebenarnya yang mengirimkan bunga ini untukku?
     Keadaan kampus yang ramai membuatnya tersadar bahwa ia sudah kembali menjadi Nomi yang sudah lama tidak terlihat, dikampus tentunya. Sehabis kecelakaan satu tahun yang lalu, ia mengurungkan dirinya dikamar, seperti orang bodoh yang bahkan dirinya sendiri saja tidak ia kenal. Tetapi setelah melewati proses yang panjang, kini ia kembali mendapatkan ingatannya dengan sempurna. Ya, sepertinya sempurna.
“ nomi... “ teriak seorang wanita yang pastinya sangat aku rindukan. Ana. Sahabatku.
“ ana... “ tepat disaat Ana berada dihadapanku, aku langsung memeluknya, waktu sudah sangat kejam terhadapku, ia tega memisahkanku dari sahabatku yang sangat aku sayangi. Tapi setelah ia berada dipelukanku, rasa benciku hilang begitu saja. Aku sangat menyayangi Ana.
“ kamu sudah sehat? Oh nomi, syukurlah kamu mengingatku.. aku takut sekali.. aku takut disaat aku berjumpa denganmu, kamu tidak mengenaliku.. tapi, setelah kamu meneriakkan namaku, nomi, aku merindukanmu. “ kurasakan air matanya yang jatuh membasahi bahuku, aku belum melepaskan pelukanku, aku takut, aku tidak mau kehilangan Ana lagi.
“ tenanglah, apapun yang terjadi, kamu selalu dipikiranku, aku tidak mungkin melupakanmu.. ana, antarkan aku ke kelas, aku sedikit melupakan dimana kelasku.. ehehehe.. “ aku sudah melepaskan pelukanku dan kini aku menggenggam tangannya dengan erat. Kami mulai berjalan menuju kelas. Walaupun ingatanku sudah pulih, tetapi aku masih sedikit lemah untuk mengingat hal kecil lainnya, dan bukan hanya hal kecil, aku merasa seperti ada sesuatu yang terlupakan.
     Kami berjalan sambil terus bergandengan tangan, tanpa sedikitpun melewati pemandangan yang indah. Kampusku terdapat banyak pohon yang ukurannya luar biasa besar, berkat pohon tersebut, banyak mahasiswa yang terlindungi dari matahari disaat mereka bersantai di taman. Disetiap pohon sudah ditempati banyak mahasiswa, ada yang membahas perkuliahan dan ada juga yang hanya mengobrol bersama temannya. Dan..
“ ana, dia.. kenapa memandangku terus? “ mataku terpaku kepada seorang pria yang sedang berdiri dibawah pohon sambil memakai headset, mendengarkan lagu atau tidak yang pastinya pria itu terus memandangku, tatapannya..
“ siapa? “ Ana mencoba mencari pria yang aku maksdud.
“ ana, itu.. ia terus memandangku.. “ Aku mencoba menunjuk, walau sedikit malu karena pria itu terus memandangku.
“ nomi.. kamu? “ tidak hanya pria itu yang terus memandangku, kini Ana malah terpaku menatapku.
“ kenapa? “ tanyaku yang heran melihat Ana karena ikut-ikutan memandangku.
“ kamu tidak ingat dia? “ wajah Ana terlihat pahit, matanya mulai berkaca-kaca.
“ pria itu? Siapa dia? “ kembali bertanya karena aku tidak tahu harus berkata apa, pria itu.. aku memang tidak mengenalnya.
“ nomi.. kamu benar-benar tidak mengingatnya? “ Ana mengulang kembali pertanyaannya. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang aku tahu hanya, aku tidak mengenalnya.
“ ana, kamu kenapa? Kamu menangis? “ matanya yang mulai berkaca-kaca mengagetkanku, ada apa sebenarnya.
“ tidak, tidak ada apa-apa. Kita teruskan berjalan saja, bukankah kamu mau cepat-cepat bertemu teman sekelas? Ayo.. “ Ana menarik tanganku dan kami kembali berjalan menuju kelas. Sesampai dikelas aku disambut dengan ramah, ada juga yang menangis dan memeluk tubuhku dengan erat, dan ada juga yang tertawa bahagia. Aku senang melihat mereka menerimaku kembali.
     Saat ini aku berada di halte, aku menunggu jemputan yang sudah papa janjikan kepadaku. Kurasakan angin membelai rambutku dengan kencang, udara dingin mulai menusuk kulitku. Kulihat langit mulai meredup, tidak, langit meredup bukan dikarenakan malam, tapi dikarenakan akan turunnya hujan. Tubuhku, kenapa dengan tubuhku? Ia bergetar seakan sedang diguncang gempa dengan skala yang kuat. Wajahku memucat, keringat dingin mulai mengalir di wajahku. Mimpi itu, mimpi itu kembali menghantuiku, disaat hujan akan turun, aku selalu dihantui dengan mimpi itu. Mimpi yang sangat buruk dan begitu menakutkan. Tubuhku melemah, aku sudah tidak kuat menahan guncangan ini, kupasrahkan tubuh terjatuh begitu saja.
“ kamu sudah sadar? “ terdengar suara seorang pria. Kubuka mataku perlahan, kurasakan hangatnya tubuhku saat ini, aku.. berada disebuah mobil dan kurasa bukan mobil supir utusan papaku, dimana aku? “ tenanglah, tadi kamu pingsan di halte, aku bawa kamu kedalam mobilku agar terlindung dari hujan, kamu lihat sendiri bukan? Diluar hujan sangat deras. “ suara itu, aku suka suaranya.
“ kamu siapa? “  wajahnya pria itu tidak asing bagiku. Matanya, hidungnya, bibirnya, seakan sering terlintas dipikiranku.
“ aku.. “  belum selesai ia berbicara, secara spontan aku menjawabnya.
“ terimakasih. “ mataku kini mencoba menelusuri segala ingatanku, tetap tidak terlintas wajah pria itu, semuanya hanya seperti khayalan.
“ karena kamu sudah sadar, aku antar kamu pulang. “ ia mulai menghidupkan mesin mobil dan menekan gas perlahan.
“ kamu tahu rumahku? “
“ ya. “
     Kami tiba dirumah, ia membantuku berjalan menuju halaman rumahku, kebetulan sekali ibuku sedang menemani kedua adikku bermain disana, disaat ia melihatku muncul dibalik pagar nan besar itu, ia lantas kaget dan langsung menghampiriku yang masih digandeng dengan pria itu.
“ nomi, kamu kenapa? “ paniknya.
“ aku baik-baik saja ma.. pria ini telah menolongku, mama harus berterimakasih padanya.. “ kataku sambil tersenyum kepada pria itu, terlihat lagi, tatapan penuh pertanyaan dari matanya.
“ kamu.. “ ibuku malah terdiam disaat melihat pria itu.
“ ma, kenapa? “ tanyaku yang tidak mengerti dengan keadaan ini, mamaku memandangku seakan menanyakan sesuatu.
“ kalau begitu saya pamit dulu, permisi tante.. “
“ terimakasih nak, terimakasih untuk yang kedua kalinya. “ mamaku tersenyum kepadanya. Apa? Kedua kalinya? Pria itu sudah pergi meninggalkan kami, kini tinggal ibuku dan diriku, aku masih memikirkan kalimat terakhir ibuku. Terimakasih untuk yang kedua kalinya?
“ ma, ceritakan kepadaku. “ wajahku mulai menunjukkan bahwa aku sedang serius, seharian ini pria itu sangat mengusik pikiranku, dari perlakuan Ana terhadapku dan juga ibuku, prilaku mereka seakan meyakinkanku bahwa sebenarnya aku mengenal pria itu.
“ nomi, kamu.. “ ibuku masih terpaku melihatku, ia seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
“ kenapa ma? Kenapa? Kalian kenapa? Siapa dia! “ tanpa sadar aku meninggikan suaraku, kurasakan sesak didadaku, seakan ada begitu banyak ingatan yang ingin aku ingat kembali, Apakah.. ada yang terlupakan?
“ kalian? “ mamaku mengulang kata-kata ku.
“ tadi dikampus, ana juga bertingkah sepertimu, terdiam menatap pria itu, lalu memasang muka prihatin disaat melihatku. Ada apa sebenarnya? Apa, aku mengenalnya? “ air mata sedang berusaha ingin melepaskan dirinya dari mataku, tapi aku menahannya dengan sekuat tenagaku, aku tidak mau memperlihatkan air mataku begitu saja kepada orang lain.
“ nomi, pria itu.. “
“ ... “ aku terdiam menunggu jawaban.
“ dulu.. kamu mencintainya. “ Apa? Mencintainya? Aku mencintainya? Dan kini, aku melupakannya?
“ ... “ aku kembali terdiam, terpaku menatap wajah mamaku yang juga menahan tangis.
“ nomi.. “
“ aku harus mengejarnya! “ berlari sekuat mungkin, berharap pria itu belum jauh dari rumahku, aku melewati jalan pintas yang bisa dilewati oleh pejalan kaki, tidak memikirkan keadaan sekitar yang sedang memperhatikanku, aku berlari dengan tatapan penuh harapan, sambil terus mencoba mengingat ingatanku yang sepertinya ada yang terlupakan.
     Didalam mobil. Maru menyetir sambil tertawa, tidak, ia tertawa bukan dikarenakan lelucon, melainkan tertawa akan kebodohan yang pernah ia lakukan. Mengacuhkan wanita yang mencintainya yang pada akhirnya kehilangan ingatannya. Dan disaat wanita itu tidak lagi mengingat dirinya, ia baru mulai mencintai wanita itu. Jika dari awal ia menerima wanita itu, mungkin keadaan tidak akan serumit ini. Ia kembali mengenang masa-masa dimana wanita itu terus mendekati dirinya tanpa lelah. Satu tahun yang lalu..
Kampus merupakan tempat yang sangat dibenci Maru, karena disaat ia berada di kampus, ia selalu dihantui dengan seorang wanita yang bernama Nomi. Sebenarnya Nomi merupakan gadis yang cantik dan juga pintar, ia juga memiliki banyak penggemar tentunya dari kalangan pria. Tapi entah kenapa, Maru tetap saja tidak menyukainya. Namun tiba-tiba saja hatinya melemah disaat melihat Nomi menangis dibawah pohon yang terletak jauh dari keramaian. Setiap tetesan air matanya membuat hatinya seakan teriris, senyuman dan tawa wanita itu seakan hilang begitu saja. Baru ia sadari, ia lebih menyukai Nomi tertawa dari pada menangis seperti ini. Sepertinya sudah saatnya ia membuka hati kepada Nomi. Perlahan ia langkahkan kakinya, semakin dekat dengan Nomi, semakin kencang jantungnya berdetak. Ya, Maru baru menyadari itu, disaat Nomi menggodanya, detak jantungnya selalu tak karuan. Kini jaraknya dengan Nomi hanya berjarak 2 meter, tangisan Nomi semakin membesar, tentu saja itu semakin menyayat hatinya, ia coba membuka mulut dan mengatakan sesuatu.
“ sayang! “
Nomi mengalihkan pandangannya dan mencari asal suara tersebut, ia mendapatkan seorang laki-laki sedang berdiri tidak jauh darinya, laki-laki itu sedang memandangnya, tanpa sadar air matanya tidak mengalir lagi, namun, ia kembali mendapatkan seorang wanita sedang berlari sambil berteriak dan wanita itu.. memeluk Maru.
“ sayang.. kamu ngapain disini, aku panggil kamu dari tadi kok gak di jawab sih.. “ hah?
“ kara! Pergilah. “ kata Maru sedikit kaget. Kara merupakan seorang wanita yang dijodohkan dengannya, namun Maru tetap tidak pernah menyetujui perjodohan ini. Tetapi walaupun begitu, wanita itu masih saja mengganggunya dan memanggilnya dengan sebutan sayang. Sesungguhnya Nomi tidak pernah mengetahui tentang perjodohan ini, karena ini merupakan pertama kalinya ia melihat wanita itu, wanita itu tidak berkuliah di kampus ini dan tentu saja tidak ada yang tahu akan dirinya.
“ kamu kok begitu sih, bagaimanapun juga kita akan segera menikah, kamu harus bersikap baik kepadaku.. “ suaranya terdengar manja. Tapi.. apa yang baru saja wanita itu katakan, membuat Nomi kehilangan kesadaran diri, kepedihan yang ia rasakan kini berlipat ganda. Ia berjalan tanpa memperdulikan sekitarnya, air matanya kembali mengalir bahkan sangat deras dari yang sebelumnya. Maru menyadari bahwa Nomi tidak lagi berada di bawah pohon, dengan reflek ia berlari mencarinya. Mengacuhkan wanita yang sedang menggenggam tangannya dengan erat, melepaskan genggaman itu dan berlari sekuat mungkin. Nomi tidak ada di sekitaran kampus. Dimana dia?
Hujan turun tanpa sapa, membuat kekhawatirannya semakin meningkat, ia mencoba mencari Nomi dengan mengendarai mobilnya, sepanjang perjalanan ia fokuskan matanya mencari wanita itu. Itu dia!
Nomi sedang berjalan dipinggir jalan tanpa menghiraukan hujan yang membasahi tubuhnya. Tatapannya kosong. Beberapa kali ia terjatuh, lalu kembali berdiri. Maru turun dari mobilnya dan berlari mendekati Nomi.
“ nomi awas! “ oh tidak..
Sebuah mobil menabrak Nomi dengan keras, wanita itu terlempar sangat jauh. Maru merasakan lututnya melemas, bahkan untuk melangkahkan kakinya saja ia tidak kuat. Nomi.. salahkan aku! Salahkan aku Nomi!
Setahun ini Maru selalu mengirim mawar putih kerumahnya, sekali-sekali ia memarkirkan mobilnya tidak jauh dari rumah Nomi untuk melihat wanita yang ia cintai. Pagar rumah yang sangat tinggi merupakan penghalang baginya, namun itu tidak membuat Maru putus asa, melihat rumahnya dan mengetahui bahwa Nomi baik-baik saja sudah sangat memuaskan hatinya. Dan disaat setahun lamanya, kini Maru mendapatkan sosok itu dihadapannya. Apa yang harusku lakukan?
Maru menyetir sambil terus memikirkan itu, Nomi.
“ ia mengingat semuanya, tapi tidak denganku? Apa ini balasan yang aku dapatkan? “ kalimat itu mengalir begitu saja, kenyataan pedih ini tentu harus ia terima. Bagaimanapun juga Nomi lebih menderita darinya. Ia menambah kecepatan mobilnya dan fokus melihat jalan. Siapa itu?
Nomi berlari sekuat mungkin, perlahan ingatannya kembali, ingatannya terhadap Maru mulai kembali mengisi memorinya, matanya.. hidungnya.. bibirnya.. itu dia!
Nomi melihat seorang pria dari kejauhan, pria itu sedang mengendarai mobil, ini benar-benar hebat, jarak tidak memudarkan pandangannya terhadap Maru. Nomi melangkahkan kakinya ke tengan jalan dan memandang Maru dengan yakin. Aku menangis dibawah derasnya hujan, aku bukan anak kandung dari keluarga itu, Maru akan menikah dengan wanita lain, siapa aku? Mobil itu menabrakku, aku lupa segalanya! Aku Nomi! Aku Nomi..
Nomi merasakan sakit yang luar biasa, kepalanya seakan mau pecah, pikirannya seakan menguasai dirinya, semua ingatan pahit yang ia lupakan kini kembali, ia tutup kedua kupingnya berharap ingatan itu kembali menghilang, mobil yang sedang melaju kencang ke arahnya semakin membantu proses kembalinya ingatan pahit itu.
Maru terus memperhatikan wanita yang sedang berdiri di tengah jalan, wanita itu terus memandangnya, semakin dekat semakin jelas. Wanita itu, Nomi?
Menekan rem dengan kuat, nyaris sekali. Hanya berjarak 30cm antara mobilnya dan Nomi. Perlahan ia turun dari mobil dan mengghampiri Nomi yang sedang terpaku memandang mobilnya.
“ nomi.. “ ini pertama kalinya aku memanggil namanya langsung dihadapan dirinya.
“ ..... “ Nomi mulai melepaskan pandangannya dan kini memandang Maru. Air mata mengalir membasahi pipinya, tatapannya..
“ kamu.. baikkah? “ Maru mencoba tegar walaupun begitu besar rasa sedih dan juga emosi yang sedang ia tahan.
“ .... “ Nomi masih saja terpaku menatap Maru.
“ kamu sudah mengingatku? “
“ .... “ tidak ada jawaban. Habis sudah, air mata juga mengalir dipipinya, Maru sudah tidak kuat menahannya, ia membalikkan badannya dan berjalan menuju mobil. Harapan, apakah harapan itu masih ada? atau.. apakah harapan itu sudah musnah?
Mengacuhkan wanita yang mencintainya dengan tulus. Disaat seperti ini, ia menginginkan harapan indah itu. Begitu egois. Nomi tidak memperlihatkan reaksi apapun, ia tahu, Nomi pasti sangat lelah, ia juga sangat lelah, sebaiknya ia pulang dan merelakan harapan itu.
“ maru.. “ Nomi memanggil namanya?
Ia membalikkan tubuhnya dan menatap nomi dengan erat.
“ maru.. “ Nomi mengulang nama itu, dan terus mengulang. Sampai akhirnya ia terjatuh lalu pingsan.
“ nomi! Sadarlah nomi.. sadarlah..! katakan, katakan sekali lagi, namaku, katakan sekali lagi..! “ dengan cepat ia mengangkat nomi kedalam mobilnya dan membawa Nomi kerumah sakit. Tidak lama kemudian keluarga Nomi mulai berdatangan, terlihat ekspresi penuh cemas diwajah mereka. Maru hanya bisa melihatnya dari kejauhan, ia merasa belum pantas muncul dihadapan Nomi, ia takut Nomi akan pingsan kembali jika melihatnya.
Didalam ruangan, keluarganya berkumpul sambil terus berdoa agar Nomi dapat segera sadar, ibunya tidak henti-hentinya menangis sambil terus menggenggam tangan putri kesayangannya. Terlihat reaksi dari Nomi, jari tangannya bergerak dan lama-kelamaan matanya terbuka. Kontras membuat seluruh isi ruangan menjadi panik bahagia.
“ nomi.. nomi sayang.. “ suara lirih ibunya terdengar jelas ditelinganya.
“ kakak.. “ seru kedua adiknya..
“ nomi.. “ ayahnya juga ikut memanggil namanya.
“ dimana keluargaku? “ Nomi, menanyakan siapa?
“ sayang? “ ibunya lantas terdiam.
“ aku dimana? “ Nomi, kamu kenapa?
“ nomi.. kamu tidak ingat pada kami? “ ayahnya terlihat takut, takut putrinya kembali kehilangan ingatannya.
“ aku ingat, tapi dimana keluargaku? Keluarga kandungku? “ pertanyaan polos itu terdengar menyakitkan.
“ sayang.. apa maksud kamu? “ tubuh ibunya melemas.
“ sudahlah, jelaskan saja padaku. “ katanya dengan yakin.
Sudah dua hari sejak kejadian mengharukan itu terjadi. Maru yang bahkan sampai sekarang belum juga melihat Nomi masih sangat merasa bersalah. Seandainya.. jika..
Memikirkan hal itu membuatnya semakin merasa bersalah, karena itu ia memilih untuk menjauh dari Nomi. Melupakan segalanya tentang Nomi, melupakan rasa cintanya terhadap Nomi.. mungkinkah?
Kini Maru sedang duduk dibawah pohon tepat dimana dulunya Nomi pernah menangis dibawah pohon itu. Walaupun begitu kuat usaha dia untuk melupakan Nomi, tetap saja tanpa sadar ia selalu menyinggahi tempat-tempat yang dulunya pernah disinggahi Nomi. Seperti pohon ini.
“ lucu sekali, dulunya aku sempat membencimu, kamu tahu, dulu itu kamu sangat mengganggu, selalu mengusikku, tiada hari tanpa dirimu, dan kini.. disaat kamu tidak lagi didekatku, aku menyadari betapa rindunya aku kepadamu, suaramu, senyumanmu, gurauanmu.. haruskah kubiarkan rasa sedih dan penyesalan ini menjadi lautan dihatiku? “ merebahkan tubuhnya diatas rumput yang terlihat terawat dengan baik. Ia tutup kedua matanya dan mulai mencoba melupakan segalanya.
“ aku bahkan tidak melupakanmu, tapi kamu malah berusaha untuk melupakanku? “ suara itu.. Maru membuka matanya, mencari asal suara tersebut. Sosok itu, sosok yang selama ini sangat ia rindukan.
“ nomi.. “ kaget, terpana. Entahlah..
“ apa? Lautan? Memangnya bisa lautan berada didalam hatimu? Sebesar apa sih hatimu sehingga lautan bisa berada disana? Kalau begitu, berapa banyak wanita yang bisa berada didalam hatimu? “ tak henti-hentinya mengucapkan kalimat itu dengan logatnya yang tentunya sangat dikenal Maru.
“ kamu, sudah baikkah? “ saling tatap-menatap, tatapan yang penuh kehangatan.
“ memangnya aku sakit apa? Lagian, kamu sedang apa disini? Tidur dirumput, kan sayang rumputnya.. “ pelukan hangat ini, pelukan yang sangat aku nantikan.
Tanpa menjawab perkataan Nomi ia malah memeluk gadis itu, sangat erat, seakan tidak ingin kehilangan gadis itu kembali. Hilang sudah semua rasa penat dihati, pelukan hangat ini berhasil membuat dunia seakan memihak hanya kepada mereka berdua.
“ hari ini, kenapa tidak mengirimku bunga? “ tanya Nomi setelah Maru melepaskan pelukannya.
“ kamu tahu itu? “ selama ini Maru selalu menyembunyikan identitasnya, ia tidak pernah menuliskan namanya.
“ jangan mawar putih lagi dong.. Tapi mawar merah.. menggambarkan.. cinta. “ tersenyum malu, terlihat juga senyuman dibibir Maru. Inikah akhir yang engkau berikan, tuhan?
“ baiklah. “ kata Maru mengiyakan.
“ terimakasih maruku.. “
“ terimakasih juga nomiku, terimakasih sudah mencintaiku, love you..
“ terimakasih juga sudah membalas cintaku.. love you to..
“ cukup sudah terimakasihnya.. “ Maru kembali memeluk Nomi, berakhir sudah kepedihan yang mereka rasakan. Harapan-harapan itu terjawab sudah. Tuhan menakdirkan mereka untuk saling mencintai, sebesar apapun masalah yang mereka terima, dengan cinta mereka dapat melewatinya.



 
 http://azlinahulwani.blogspot.com 

:D terimakasih Sobat 


No comments:

Post a Comment

Search