Mawar Putih Untuk
Nomi
Hujan deras membasahi seluruh pakaiannya,
walau begitu, ia masih saja berjalan entah kemana, tanpa tujuan. Tatapannya
terlihat kosong dan lemah, pernyataan yang baru saja ia dengar, sangat menyayat
hatinya. Keluarga yang selama ini terasa hangat, kini baginya hampa tanpa
sentuhan. Kenyataan bahwa ia bukanlah anak kandung dari keluarga itu begitu
menyakitkan. Sangat menyakitkan. Ditambah lagi, pria yang sangat ia cintai sama
sekali tidak pernah menghiraukan dirinya, dirinya yang terus berusaha untuk
mendapatkan hati sang pria, habis sudah. Kasih sayang yang selama ini ia
dapatkan dari keluarganya, apakah pantas ia rasakan? Dan.. apakah ia tidak
pantas mendapatkan kasih sayang dari pria yang ia cintai?
“ aku.. siapa? Aku
siapa? Aku siapa! “ tubuhnya tersungkur diatas aspal, menangis atau tidak sudah
tidak terlihat lagi, air matanya sudah berbaur dengan air hujan yang deras membasahi
pipinya, hanya isakan tangisnya yang terdengar, posisinya sangat berbahaya, ia
berada di tepi jalan yang pada saat itu ramai dilintasi kendaraan. Terdengar
jelas suara klakson mobil, itu membuatnya marah, kenapa mereka mendengarkannya
suara klakson yang lantang itu, disaat suasana hatinya yang hancur seperti ini
tentunya semua itu sangat menganggu. Ia kuatkan dirinya dan mencoba kembali
berdiri, namun..
Senyuman yang sangat indah tentunya
senyuman yang diberikan dari keluarga kita sendiri. Tawa mereka, kejahilan
mereka, bernyanyi bersama, semua itu yang dinamakan indah. Nomi sangat
menikmati semua itu, kedua orangtuanya, kedua adik laki-lakinya, mereka semua merupakan
orang terpenting dalam hidupnya, dan.. entahlah, ia merasa seperti ada yang kurang.
“ apa yang sedang
kamu pikirkan? Katakan kepada mama.. “ suara itu begitu lembut, seperti
membelai setiap indra pendengarku. Ibuku sangat menyayangi diriku, perhatian
yang ibuku berikan kepadaku bagaikan udara. Apapun yang kita lakukan didunia
ini, udara tetap setia menemani kita dan memenuhi kebutuhan oksigen kita tanpa
kekurangan sedikitpun.
“ ma, aku ingin
segera masuk kuliah.. “ kataku setelah melewati pemikiran yang sangat panjang.
“ tapi, kamu belum
pulih sepenuhnya.. kamu harus banyak istirahat sayang.. “ tangannya membelai
rambutku dengan lembut, sangat nyaman.
“ tidak ma, aku
harus kuliah.. “ aku berusaha meyakinkan ibuku agar mengizinkanku untuk kembali
berkuliah.
“ sayang..
ingatanmu.. “ suaranya terdengar bergetar, ia menahan tangis, berusaha agar
tidak memperlihatkan air matanya kepadaku.
“ aku ingat ma, aku sudah ingat semuanya,
mama tenang saja.. “ senyumku merekah ketika melihat anggukan mamaku. Ia
mengizinkanku untuk kembali melanjutkan perkuliahan. Setelah sekian lama
istirahat dibalik ingatan kosongku.
“ baiklah. Ini ada kiriman bunga untukmu. “
kata ibunya sambil menyerahkan bunga mawar putih ke pelukannya.
“ lagi? “ walau aku tidak tahu siapa
pengirimnya, aku selalu menanti kiriman selanjutnya. Hampir setiap minggu aku
mendapatkan bunga ini. Siapa sebenarnya
yang mengirimkan bunga ini untukku?
Keadaan kampus yang ramai membuatnya
tersadar bahwa ia sudah kembali menjadi Nomi yang sudah lama tidak terlihat,
dikampus tentunya. Sehabis kecelakaan satu tahun yang lalu, ia mengurungkan
dirinya dikamar, seperti orang bodoh yang bahkan dirinya sendiri saja tidak ia
kenal. Tetapi setelah melewati proses yang panjang, kini ia kembali mendapatkan
ingatannya dengan sempurna. Ya, sepertinya sempurna.
“ nomi... “ teriak
seorang wanita yang pastinya sangat aku rindukan. Ana. Sahabatku.
“ ana... “ tepat
disaat Ana berada dihadapanku, aku langsung memeluknya, waktu sudah sangat
kejam terhadapku, ia tega memisahkanku dari sahabatku yang sangat aku sayangi.
Tapi setelah ia berada dipelukanku, rasa benciku hilang begitu saja. Aku sangat
menyayangi Ana.
“ kamu sudah sehat?
Oh nomi, syukurlah kamu mengingatku.. aku takut sekali.. aku takut disaat aku
berjumpa denganmu, kamu tidak mengenaliku.. tapi, setelah kamu meneriakkan
namaku, nomi, aku merindukanmu. “ kurasakan air matanya yang jatuh membasahi
bahuku, aku belum melepaskan pelukanku, aku takut, aku tidak mau kehilangan Ana
lagi.
“ tenanglah, apapun
yang terjadi, kamu selalu dipikiranku, aku tidak mungkin melupakanmu.. ana,
antarkan aku ke kelas, aku sedikit melupakan dimana kelasku.. ehehehe.. “ aku
sudah melepaskan pelukanku dan kini aku menggenggam tangannya dengan erat. Kami
mulai berjalan menuju kelas. Walaupun ingatanku sudah pulih, tetapi aku masih
sedikit lemah untuk mengingat hal kecil lainnya, dan bukan hanya hal kecil, aku
merasa seperti ada sesuatu yang terlupakan.
Kami berjalan sambil terus bergandengan
tangan, tanpa sedikitpun melewati pemandangan yang indah. Kampusku terdapat banyak
pohon yang ukurannya luar biasa besar, berkat pohon tersebut, banyak mahasiswa
yang terlindungi dari matahari disaat mereka bersantai di taman. Disetiap pohon
sudah ditempati banyak mahasiswa, ada yang membahas perkuliahan dan ada juga
yang hanya mengobrol bersama temannya. Dan..
“ ana, dia.. kenapa
memandangku terus? “ mataku terpaku kepada seorang pria yang sedang berdiri
dibawah pohon sambil memakai headset, mendengarkan lagu atau tidak yang
pastinya pria itu terus memandangku, tatapannya..
“ siapa? “ Ana
mencoba mencari pria yang aku maksdud.
“ ana, itu.. ia
terus memandangku.. “ Aku mencoba menunjuk, walau sedikit malu karena pria itu
terus memandangku.
“ nomi.. kamu? “
tidak hanya pria itu yang terus memandangku, kini Ana malah terpaku menatapku.
“ kenapa? “ tanyaku
yang heran melihat Ana karena ikut-ikutan memandangku.
“ kamu tidak ingat
dia? “ wajah Ana terlihat pahit, matanya mulai berkaca-kaca.
“ pria itu? Siapa
dia? “ kembali bertanya karena aku tidak tahu harus berkata apa, pria itu.. aku
memang tidak mengenalnya.
“ nomi.. kamu
benar-benar tidak mengingatnya? “ Ana mengulang kembali pertanyaannya. Aku
tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang aku tahu hanya, aku tidak mengenalnya.
“ ana, kamu kenapa?
Kamu menangis? “ matanya yang mulai berkaca-kaca mengagetkanku, ada apa
sebenarnya.
“ tidak, tidak ada
apa-apa. Kita teruskan berjalan saja, bukankah kamu mau cepat-cepat bertemu
teman sekelas? Ayo.. “ Ana menarik tanganku dan kami kembali berjalan menuju
kelas. Sesampai dikelas aku disambut dengan ramah, ada juga yang menangis dan
memeluk tubuhku dengan erat, dan ada juga yang tertawa bahagia. Aku senang
melihat mereka menerimaku kembali.
Saat ini aku berada di halte, aku menunggu
jemputan yang sudah papa janjikan kepadaku. Kurasakan angin membelai rambutku
dengan kencang, udara dingin mulai menusuk kulitku. Kulihat langit mulai
meredup, tidak, langit meredup bukan dikarenakan malam, tapi dikarenakan akan
turunnya hujan. Tubuhku, kenapa dengan tubuhku? Ia bergetar seakan sedang
diguncang gempa dengan skala yang kuat. Wajahku memucat, keringat dingin mulai
mengalir di wajahku. Mimpi itu, mimpi itu kembali menghantuiku, disaat hujan
akan turun, aku selalu dihantui dengan mimpi itu. Mimpi yang sangat buruk dan
begitu menakutkan. Tubuhku melemah, aku sudah tidak kuat menahan guncangan ini,
kupasrahkan tubuh terjatuh begitu saja.
“ kamu sudah sadar?
“ terdengar suara seorang pria. Kubuka mataku perlahan, kurasakan hangatnya
tubuhku saat ini, aku.. berada disebuah mobil dan kurasa bukan mobil supir
utusan papaku, dimana aku? “ tenanglah, tadi kamu pingsan di halte, aku bawa
kamu kedalam mobilku agar terlindung dari hujan, kamu lihat sendiri bukan?
Diluar hujan sangat deras. “ suara itu, aku suka suaranya.
“ kamu siapa? “ wajahnya pria itu tidak asing bagiku.
Matanya, hidungnya, bibirnya, seakan sering terlintas dipikiranku.
“ aku.. “ belum selesai ia berbicara, secara spontan
aku menjawabnya.
“ terimakasih. “
mataku kini mencoba menelusuri segala ingatanku, tetap tidak terlintas wajah
pria itu, semuanya hanya seperti khayalan.
“ karena kamu sudah
sadar, aku antar kamu pulang. “ ia mulai menghidupkan mesin mobil dan menekan
gas perlahan.
“ kamu tahu rumahku?
“
“ ya. “
Kami
tiba dirumah, ia membantuku berjalan menuju halaman rumahku, kebetulan sekali
ibuku sedang menemani kedua adikku bermain disana, disaat ia melihatku muncul
dibalik pagar nan besar itu, ia lantas kaget dan langsung menghampiriku yang
masih digandeng dengan pria itu.
“ nomi, kamu kenapa?
“ paniknya.
“ aku baik-baik saja
ma.. pria ini telah menolongku, mama harus berterimakasih padanya.. “ kataku
sambil tersenyum kepada pria itu, terlihat lagi, tatapan penuh pertanyaan dari
matanya.
“ kamu.. “ ibuku
malah terdiam disaat melihat pria itu.
“ ma, kenapa? “
tanyaku yang tidak mengerti dengan keadaan ini, mamaku memandangku seakan
menanyakan sesuatu.
“ kalau begitu saya
pamit dulu, permisi tante.. “
“ terimakasih nak,
terimakasih untuk yang kedua kalinya. “ mamaku tersenyum kepadanya. Apa? Kedua kalinya? Pria itu sudah pergi
meninggalkan kami, kini tinggal ibuku dan diriku, aku masih memikirkan kalimat
terakhir ibuku. Terimakasih untuk yang
kedua kalinya?
“ ma, ceritakan
kepadaku. “ wajahku mulai menunjukkan bahwa aku sedang serius, seharian ini
pria itu sangat mengusik pikiranku, dari perlakuan Ana terhadapku dan juga
ibuku, prilaku mereka seakan meyakinkanku bahwa sebenarnya aku mengenal pria
itu.
“ nomi, kamu.. “
ibuku masih terpaku melihatku, ia seperti tidak percaya dengan apa yang baru
saja ia lihat.
“ kenapa ma? Kenapa?
Kalian kenapa? Siapa dia! “ tanpa sadar aku meninggikan suaraku, kurasakan
sesak didadaku, seakan ada begitu banyak ingatan yang ingin aku ingat kembali, Apakah.. ada yang terlupakan?
“ kalian? “ mamaku
mengulang kata-kata ku.
“ tadi dikampus, ana
juga bertingkah sepertimu, terdiam menatap pria itu, lalu memasang muka
prihatin disaat melihatku. Ada apa sebenarnya? Apa, aku mengenalnya? “ air mata
sedang berusaha ingin melepaskan dirinya dari mataku, tapi aku menahannya
dengan sekuat tenagaku, aku tidak mau memperlihatkan air mataku begitu saja
kepada orang lain.
“ nomi, pria itu.. “
“ ... “ aku terdiam
menunggu jawaban.
“ dulu.. kamu
mencintainya. “ Apa? Mencintainya? Aku
mencintainya? Dan kini, aku melupakannya?
“ ... “ aku kembali
terdiam, terpaku menatap wajah mamaku yang juga menahan tangis.
“ nomi.. “
“ aku harus
mengejarnya! “ berlari sekuat mungkin, berharap pria itu belum jauh dari
rumahku, aku melewati jalan pintas yang bisa dilewati oleh pejalan kaki, tidak
memikirkan keadaan sekitar yang sedang memperhatikanku, aku berlari dengan
tatapan penuh harapan, sambil terus mencoba mengingat ingatanku yang sepertinya
ada yang terlupakan.
Didalam mobil. Maru menyetir sambil tertawa,
tidak, ia tertawa bukan dikarenakan lelucon, melainkan tertawa akan kebodohan
yang pernah ia lakukan. Mengacuhkan wanita yang mencintainya yang pada akhirnya
kehilangan ingatannya. Dan disaat wanita itu tidak lagi mengingat dirinya, ia
baru mulai mencintai wanita itu. Jika dari awal ia menerima wanita itu, mungkin
keadaan tidak akan serumit ini. Ia kembali mengenang masa-masa dimana wanita
itu terus mendekati dirinya tanpa lelah. Satu tahun yang lalu..
Kampus merupakan
tempat yang sangat dibenci Maru, karena disaat ia berada di kampus, ia selalu
dihantui dengan seorang wanita yang bernama Nomi. Sebenarnya Nomi merupakan
gadis yang cantik dan juga pintar, ia juga memiliki banyak penggemar tentunya
dari kalangan pria. Tapi entah kenapa, Maru tetap saja tidak menyukainya. Namun
tiba-tiba saja hatinya melemah disaat melihat Nomi menangis dibawah pohon yang
terletak jauh dari keramaian. Setiap tetesan air matanya membuat hatinya seakan
teriris, senyuman dan tawa wanita itu seakan hilang begitu saja. Baru ia
sadari, ia lebih menyukai Nomi tertawa dari pada menangis seperti ini.
Sepertinya sudah saatnya ia membuka hati kepada Nomi. Perlahan ia langkahkan
kakinya, semakin dekat dengan Nomi, semakin kencang jantungnya berdetak. Ya,
Maru baru menyadari itu, disaat Nomi menggodanya, detak jantungnya selalu tak
karuan. Kini jaraknya dengan Nomi hanya berjarak 2 meter, tangisan Nomi semakin
membesar, tentu saja itu semakin menyayat hatinya, ia coba membuka mulut dan mengatakan
sesuatu.
“ sayang! “
Nomi mengalihkan
pandangannya dan mencari asal suara tersebut, ia mendapatkan seorang laki-laki
sedang berdiri tidak jauh darinya, laki-laki itu sedang memandangnya, tanpa
sadar air matanya tidak mengalir lagi, namun, ia kembali mendapatkan seorang
wanita sedang berlari sambil berteriak dan wanita itu.. memeluk Maru.
“ sayang.. kamu
ngapain disini, aku panggil kamu dari tadi kok gak di jawab sih.. “ hah?
“ kara! Pergilah. “
kata Maru sedikit kaget. Kara merupakan seorang wanita yang dijodohkan
dengannya, namun Maru tetap tidak pernah menyetujui perjodohan ini. Tetapi
walaupun begitu, wanita itu masih saja mengganggunya dan memanggilnya dengan
sebutan sayang. Sesungguhnya Nomi
tidak pernah mengetahui tentang perjodohan ini, karena ini merupakan pertama
kalinya ia melihat wanita itu, wanita itu tidak berkuliah di kampus ini dan
tentu saja tidak ada yang tahu akan dirinya.
“ kamu kok begitu
sih, bagaimanapun juga kita akan segera menikah, kamu harus bersikap baik
kepadaku.. “ suaranya terdengar manja. Tapi.. apa yang baru saja wanita itu
katakan, membuat Nomi kehilangan kesadaran diri, kepedihan yang ia rasakan kini
berlipat ganda. Ia berjalan tanpa memperdulikan sekitarnya, air matanya kembali
mengalir bahkan sangat deras dari yang sebelumnya. Maru menyadari bahwa Nomi
tidak lagi berada di bawah pohon, dengan reflek ia berlari mencarinya.
Mengacuhkan wanita yang sedang menggenggam tangannya dengan erat, melepaskan
genggaman itu dan berlari sekuat mungkin. Nomi tidak ada di sekitaran kampus. Dimana dia?
Hujan turun tanpa
sapa, membuat kekhawatirannya semakin meningkat, ia mencoba mencari Nomi dengan
mengendarai mobilnya, sepanjang perjalanan ia fokuskan matanya mencari wanita
itu. Itu dia!
Nomi sedang berjalan
dipinggir jalan tanpa menghiraukan hujan yang membasahi tubuhnya. Tatapannya
kosong. Beberapa kali ia terjatuh, lalu kembali berdiri. Maru turun dari
mobilnya dan berlari mendekati Nomi.
“ nomi awas! “ oh tidak..
Sebuah mobil
menabrak Nomi dengan keras, wanita itu terlempar sangat jauh. Maru merasakan
lututnya melemas, bahkan untuk melangkahkan kakinya saja ia tidak kuat. Nomi.. salahkan aku! Salahkan aku Nomi!
Setahun ini Maru
selalu mengirim mawar putih kerumahnya, sekali-sekali ia memarkirkan mobilnya
tidak jauh dari rumah Nomi untuk melihat wanita yang ia cintai. Pagar rumah
yang sangat tinggi merupakan penghalang baginya, namun itu tidak membuat Maru
putus asa, melihat rumahnya dan mengetahui bahwa Nomi baik-baik saja sudah
sangat memuaskan hatinya. Dan disaat setahun lamanya, kini Maru mendapatkan
sosok itu dihadapannya. Apa yang harusku
lakukan?
Maru menyetir sambil
terus memikirkan itu, Nomi.
“ ia mengingat
semuanya, tapi tidak denganku? Apa ini balasan yang aku dapatkan? “ kalimat itu
mengalir begitu saja, kenyataan pedih ini tentu harus ia terima. Bagaimanapun juga
Nomi lebih menderita darinya. Ia menambah kecepatan mobilnya dan fokus melihat
jalan. Siapa itu?
Nomi berlari sekuat
mungkin, perlahan ingatannya kembali, ingatannya terhadap Maru mulai kembali
mengisi memorinya, matanya.. hidungnya.. bibirnya.. itu dia!
Nomi melihat seorang
pria dari kejauhan, pria itu sedang mengendarai mobil, ini benar-benar hebat,
jarak tidak memudarkan pandangannya terhadap Maru. Nomi melangkahkan kakinya ke
tengan jalan dan memandang Maru dengan yakin. Aku menangis dibawah derasnya hujan, aku bukan anak kandung dari
keluarga itu, Maru akan menikah dengan wanita lain, siapa aku? Mobil itu
menabrakku, aku lupa segalanya! Aku Nomi! Aku Nomi..
Nomi merasakan sakit
yang luar biasa, kepalanya seakan mau pecah, pikirannya seakan menguasai
dirinya, semua ingatan pahit yang ia lupakan kini kembali, ia tutup kedua
kupingnya berharap ingatan itu kembali menghilang, mobil yang sedang melaju
kencang ke arahnya semakin membantu proses kembalinya ingatan pahit itu.
Maru terus
memperhatikan wanita yang sedang berdiri di tengah jalan, wanita itu terus
memandangnya, semakin dekat semakin jelas. Wanita
itu, Nomi?
Menekan rem dengan
kuat, nyaris sekali. Hanya berjarak 30cm antara mobilnya dan Nomi. Perlahan ia
turun dari mobil dan mengghampiri Nomi yang sedang terpaku memandang mobilnya.
“ nomi.. “ ini
pertama kalinya aku memanggil namanya langsung dihadapan dirinya.
“ ..... “ Nomi mulai
melepaskan pandangannya dan kini memandang Maru. Air mata mengalir membasahi
pipinya, tatapannya..
“ kamu.. baikkah? “
Maru mencoba tegar walaupun begitu besar rasa sedih dan juga emosi yang sedang
ia tahan.
“ .... “ Nomi masih
saja terpaku menatap Maru.
“ kamu sudah
mengingatku? “
“ .... “ tidak ada
jawaban. Habis sudah, air mata juga mengalir dipipinya, Maru sudah tidak kuat
menahannya, ia membalikkan badannya dan berjalan menuju mobil. Harapan, apakah harapan itu masih ada?
atau.. apakah harapan itu sudah musnah?
Mengacuhkan wanita
yang mencintainya dengan tulus. Disaat seperti ini, ia menginginkan harapan
indah itu. Begitu egois. Nomi tidak memperlihatkan reaksi apapun, ia tahu, Nomi
pasti sangat lelah, ia juga sangat lelah, sebaiknya ia pulang dan merelakan
harapan itu.
“ maru.. “ Nomi memanggil namanya?
Ia membalikkan tubuhnya
dan menatap nomi dengan erat.
“ maru.. “ Nomi
mengulang nama itu, dan terus mengulang. Sampai akhirnya ia terjatuh lalu
pingsan.
“ nomi! Sadarlah
nomi.. sadarlah..! katakan, katakan sekali lagi, namaku, katakan sekali lagi..!
“ dengan cepat ia mengangkat nomi kedalam mobilnya dan membawa Nomi kerumah
sakit. Tidak lama kemudian keluarga Nomi mulai berdatangan, terlihat ekspresi
penuh cemas diwajah mereka. Maru hanya bisa melihatnya dari kejauhan, ia merasa
belum pantas muncul dihadapan Nomi, ia takut Nomi akan pingsan kembali jika
melihatnya.
Didalam ruangan,
keluarganya berkumpul sambil terus berdoa agar Nomi dapat segera sadar, ibunya
tidak henti-hentinya menangis sambil terus menggenggam tangan putri
kesayangannya. Terlihat reaksi dari Nomi, jari tangannya bergerak dan
lama-kelamaan matanya terbuka. Kontras membuat seluruh isi ruangan menjadi
panik bahagia.
“ nomi.. nomi
sayang.. “ suara lirih ibunya terdengar jelas ditelinganya.
“ kakak.. “ seru
kedua adiknya..
“ nomi.. “ ayahnya
juga ikut memanggil namanya.
“ dimana keluargaku?
“ Nomi, menanyakan siapa?
“ sayang? “ ibunya
lantas terdiam.
“ aku dimana? “ Nomi, kamu kenapa?
“ nomi.. kamu tidak
ingat pada kami? “ ayahnya terlihat takut, takut putrinya kembali kehilangan
ingatannya.
“ aku ingat, tapi
dimana keluargaku? Keluarga kandungku? “ pertanyaan polos itu terdengar
menyakitkan.
“ sayang.. apa
maksud kamu? “ tubuh ibunya melemas.
“ sudahlah, jelaskan
saja padaku. “ katanya dengan yakin.
Sudah dua hari sejak
kejadian mengharukan itu terjadi. Maru yang bahkan sampai sekarang belum juga
melihat Nomi masih sangat merasa bersalah. Seandainya..
jika..
Memikirkan hal itu
membuatnya semakin merasa bersalah, karena itu ia memilih untuk menjauh dari
Nomi. Melupakan segalanya tentang Nomi, melupakan rasa cintanya terhadap Nomi..
mungkinkah?
Kini Maru sedang
duduk dibawah pohon tepat dimana dulunya Nomi pernah menangis dibawah pohon
itu. Walaupun begitu kuat usaha dia untuk melupakan Nomi, tetap saja tanpa
sadar ia selalu menyinggahi tempat-tempat yang dulunya pernah disinggahi Nomi.
Seperti pohon ini.
“ lucu sekali,
dulunya aku sempat membencimu, kamu tahu, dulu itu kamu sangat mengganggu,
selalu mengusikku, tiada hari tanpa dirimu, dan kini.. disaat kamu tidak lagi
didekatku, aku menyadari betapa rindunya aku kepadamu, suaramu, senyumanmu,
gurauanmu.. haruskah kubiarkan rasa sedih dan penyesalan ini menjadi lautan
dihatiku? “ merebahkan tubuhnya diatas rumput yang terlihat terawat dengan
baik. Ia tutup kedua matanya dan mulai mencoba melupakan segalanya.
“ aku bahkan tidak
melupakanmu, tapi kamu malah berusaha untuk melupakanku? “ suara itu.. Maru membuka matanya, mencari asal suara tersebut.
Sosok itu, sosok yang selama ini sangat ia rindukan.
“ nomi.. “ kaget,
terpana. Entahlah..
“ apa? Lautan?
Memangnya bisa lautan berada didalam hatimu? Sebesar apa sih hatimu sehingga
lautan bisa berada disana? Kalau begitu, berapa banyak wanita yang bisa berada
didalam hatimu? “ tak henti-hentinya mengucapkan kalimat itu dengan logatnya
yang tentunya sangat dikenal Maru.
“ kamu, sudah
baikkah? “ saling tatap-menatap, tatapan yang penuh kehangatan.
“ memangnya aku
sakit apa? Lagian, kamu sedang apa disini? Tidur dirumput, kan sayang
rumputnya.. “ pelukan hangat ini, pelukan
yang sangat aku nantikan.
Tanpa menjawab
perkataan Nomi ia malah memeluk gadis itu, sangat erat, seakan tidak ingin
kehilangan gadis itu kembali. Hilang sudah semua rasa penat dihati, pelukan
hangat ini berhasil membuat dunia seakan memihak hanya kepada mereka berdua.
“ hari ini, kenapa
tidak mengirimku bunga? “ tanya Nomi setelah Maru melepaskan pelukannya.
“ kamu tahu itu? “
selama ini Maru selalu menyembunyikan identitasnya, ia tidak pernah menuliskan
namanya.
“ jangan mawar putih
lagi dong.. Tapi mawar merah.. menggambarkan.. cinta. “ tersenyum malu, terlihat
juga senyuman dibibir Maru. Inikah akhir
yang engkau berikan, tuhan?
“ baiklah. “ kata
Maru mengiyakan.
“ terimakasih
maruku.. “
“ terimakasih juga
nomiku, terimakasih sudah mencintaiku, love
you.. “
“ terimakasih juga
sudah membalas cintaku.. love you to.. “
“ cukup sudah
terimakasihnya.. “ Maru kembali memeluk Nomi, berakhir sudah kepedihan yang
mereka rasakan. Harapan-harapan itu terjawab sudah. Tuhan menakdirkan mereka
untuk saling mencintai, sebesar apapun masalah yang mereka terima, dengan cinta
mereka dapat melewatinya.http://azlinahulwani.blogspot.com
:D terimakasih Sobat
No comments:
Post a Comment